Pada suatu ketika saat ia dewasa, aku berharap anakku menyadari benih perkataanku semasa ia kecil. Bahwa impian suatu saat pasti terwujud.
Tak berapa lama lagi, aku harus menghadapi kenyataan baru. Hidup berdua saja dengan anakku. Berdua melalui apapun yang ditumpahkan hidup kepada kami. Memang ada banyak hal dari kehidupan yang terkadang tidak mampu kita kuasai, sehingga pada sebuah persimpangan, kita harus, mau tak mau, memilih satu jalan dengan jujur. Sebagai ibu, tentu saja ketakutan tak terjangkau di masa depan hampir selalu menghantui. Walau bagaimanapun, tak ada waktu lagi untuk khawatir. Waktu terus berjalan, dan hidup tak akan menunggu.
Aku dan anak perempuanku terbiasa memiliki waktu berdua saja. Sejak ia mulai makan menu keluarga, jika pergi makan ke restoran kami terbiasa makan sepiring berdua. Karena porsi makannya sedikit, begitupun aku. Jadi porsi restoran selalu pas. Kami sering jalan berdua saja untuk sekadar keluar dari rumah. Ketika kehidupan masih sulit, anakku tak pernah mengeluh berada di kendaraan umum meski keringatnya bercucuran. Tidak mengeluh ketika harus berjalan agak jauh untuk sampai ke pangkalan ojek. Tidak mengeluh ketika tidak punya banyak mainan yang indah dipandang. Anakku seakan belajar menahan dirinya tanpa berkata apapun. Namun bagiku, itu tidak sehat. Aku ingin mendengar apa yang ia impikan. Meski kecil saja. Aku selalu mencoba agar dia bercerita, memancingnya dengan membacakan buku, mengarang cerita apapun yang lewat di kepala (meski selalu mencari cerita yang cepat dan aneh, tapi ia selalu percaya dengan isi ceritanya), juga dengan mengobrol dekat-dekat.
Seiring waktu, mungkin juga sesuai umurnya, anakku mulai suka cerita. Lebih tepatnya berbicara dengan dirinya sendiri, berkhayal tentang apa saja. Dan ketika umurnya telah 5 tahun, ia secara natural menjadi pencerita yang terlalu cerewet. Tak terasa, ia mulai menceritakan semua impian-impiannya. Ia ingin bisa menari Hip Hop, ia ingin mencium lumba-lumba (akibat suatu hari aku pernah menunjukkan sebuah fotoku di masa kecil, dimana seekor lumba-lumba menciumku), ia ingin bermain bersama Minions (dan aku juga), hingga keinginannya menjadi guru bahasa Inggris saat dewasa kelak. Baginya, itu sangat keren. Dan kau tak akan melewatkan sedetikpun menyaksikan binar mata kecilnya memenuhi ruangan, dan seketika hatiku terasa hangat.
Kehangatan sederhana yang kalau bisa tak hilang sampai hidup harus selesai. Semua ibu pasti merasa begitu.
Tapi, bila kehidupan baru nanti terjadi, aku tak sanggup membayangkan seberapa besar kekuatan itu akan merenggut binar kecilnya. Maka aku bertekad untuk membawanya ke sebuah negeri impian. Tempat dimana semua yang indah dapat ia raih dan sentuh dengan jiwanya. Di tiap keindahan itu aku akan berlutut, mensejajarkan diriku dengannya, dan berkata, "kalau kamu sudah besar, kamu akan kembali kepada impianmu, di manapun ia berada, seperti yang terjadi pada kita hari ini."
Dan bukankah ada sebuah pulau di negeri seberang yang mampu menyajikan segala keindahan itu? Bila Dolphin Island dapat begitu ramah kepada anak-anak, lalu Universal Studio menjanjikan permainan menakjubkan (juga Minions!), siapa yang dapat mengelak sebuah pesona dari Resort World Sentosa?
Dan semoga ia akan mengingatnya sampai waktunya tiba. Tapi sekarang, biar kami nikmati hidup meski hanya berdua.
/dinnah_
26.4.14
Subscribe to:
Posts (Atom)