27.9.10

The Day


Hancur lebur.
Semuanya terlihat berantakan. Tidak sesuai tempatnya. Menyebalkan.
Hari itu lagi-lagi saya mengalami pertentangan yang tak perlu terjadi seharusnya. Sudah berkali-kali ini terjadi dan sepertinya tak ada satupun yang mampu belajar dari yang lalu. Ga ada yang sudi bergerak masuk ke zona seberang, hanya berpandang-pandangan menantang. Melangkah kalau berani!! Buktikan kalau kamu benar! Jangan harap kamu siap dengan resiko yang nantinya belum tentu kamu sanggup menanggungnya!
Mendidih sampai ke ujung kepala. Batas-batas di ujung jari lebam dengan geram yang berdesak mau meledak tanpa ada satupun yang mau mengalah untuk padam. Tak sudi padam. Marah ini membakarku. Jangan suruh aku diam!
Namun, aku toh terdiam. Sengaja membiarkan marah ini bermain bergumul-gumul di dalam aliran darah. Memaksa otot-otot yang mengeras untuk menikmati marah ini. Menunggu napas-napas pendek terbuang lagi. Toh aku terdiam. Mata ini pernah melihat, melihat jari, melihat napas, melihat segala yang menjadi batas…liar tak terkendali. Marah. Saya tak mau lagi marah, meski dorongannya meluaskan ruang dada, merambat ke kepala, mengunci suara kecil itu jauh terperangkap lalu lemah, yang menjadi liar dan liar dan liar, menari-nari di ujung batas-batas jari dan tanpa ampun menyihir otot-otot keras tadi, tunduk pada perannya. Menghancurkan.
Saya toh masih terdiam. Menunggu reda itu datang. Satu persatu melewati titik kulminasinya. Menyurut, menggelincir, mendingin, melemah, mengendur, mereda. Saya akhirnya tau apa yang harus saya lakukan. Karena marah ini akan tersulut lagi bila saya tidak segera keluar dari zona ini. Betapa sulitnya menahan sesuatu yang menyenangkan. Karena marah itu menyenangkan untuk dibiarkan lepas. Karena marah itu melegakan semua tensi secara instan. Namun marah selalu dan selalu tutup mata pada waktu dan pada kasih sayang. Tak peduli apakah waktu akan menggantinya dengan tidur nyenyak, atau kah waktu akan menanamnya menjadi energi untuk menggerakkan yang lain. Dan marah tak mungkin peduli apa kah kasih sayang akan merasuknya, menembus membran-membran ketidaknyamanannya untuk nantinya menyimpan benih ketenangan. Tidak mungkin. Marah tak mungkin mengerti, dan tak mau beranjak sendiri untuk mengerti. Dan marah lah yang tertawa belakangan pada kata maaf, memainkan kata itu untuk bersiap disalahgunakan. Marah lah yang membuat kita mencari-cari pembenaran di balik kata maaf. Marah lah yang menipu kita bahwa akan selalu ada maaf yang menyembuhkan luka karenanya. Padahal kita tau, maaf selalu membelai kepala dan hati kita disaat kita berani memutuskan untuk tak membiarkan marah merusak. Maaf lah yang peduli pada kita, yang akan menjawab “ya!” ketika kita bertanya “apakah boleh saya berdamai dengan diri saya sendiri?”. Maaf lah yang rela kita pergunakan untuk menjadi senjata disaat kita memaksa maaf itu diterima, atau menjadi tameng di saat kerusakan itu sudah terjadi. Maaf rela melakukannya. Seharusnya saya malu. Malu pada diri sendiri yang tak sudi bertanya pada maaf. Karena pada saat itu, marah lah yang paling membela suara hati saya, kelihatannya.
Saya tau, saya harus membiarkan marah ini mengutuk saya dari dalam, saya biarkan dia menggelayut di ruang hati saya, saya bawa dulu ia kemana-mana, asal jangan sampai ia menghancurkan lagi. Dia selalu menghancurkan saya. Dia nyangkut di celah antara hati, denyut yang naik-turun, ruang kata, dan sela-sela gigi yang gemeretak. Dia masih ada. Dan suara kecil selalu mengingatkan, meski lemah, ada satu misi yang harus saya cari sekarang untuk nantinya dijalani. Sebentuk Ikhlas. Yang saya tak tau ia berwajah seperti apa.
Amarah menanti kesempatannya untuk bergerumul lagi. Sembari saya berjalan, biar lelah otot ini dan tak mampu mengeraskan hati saya. Biar terganti pikir saya melihat hal-hal yang berbeda di perjalanan. Saya memutuskan untuk pergi keluar. Belajar menikmati berdesakan di kereta, belajar menikmati waspada di tengah kerumunan stasiun, belajar menikmati perjalanan tanpa rencana, dan belajar menikmati prosesnya. Toh menikmati hal-hal sepele itu jadi sesuatu yang berat juga, karena pikiran ini selalu dan selalu tertarik lagi pada kejadian sebelumnya. Lagi dan lagi, terus saja begitu.
Di kereta orang-orang banyak yang tidur, dan rata-rata mereka laki-laki, muda, tua, tertidur. Banyak ibu-ibu yang berdiri terlihat kepingin duduk, bergelantungan mencoba menahan beban tubuh sendiri disaat kereta berjalan berguncang-guncang. :) Hahaha, satu hal yang ternyata bisa saya nikmati. Saya pilih berdiri terus meski ada kesempatan sekali untuk duduk, yang dipandang aneh oleh semua orang, “kenapa cewe ini ga mau duduk sih?”. Saya kan tadi bilang, saya mau badan ini lelah, biar tidak jadi marah. Saya mau liat keluar jendela, dan berkesempatan melihat pemandangan landscape yang luas di antara stasiun bojong gede dengan cilebut. Yang memberi tau saya (lagi-lagi bisa juga saya nikmatin), bahwa hati itu seharusnya belajar untuk menjadi luas. Meski susah. Dan waktu itu memang susah banget. Jadi saya menertawakan diri saya lagi, karena si preacher di dalam saya ini jadi kelihatan terlalu mau dianggap benar. Dan ia mungin ngambek karena saya secara sadar ga mau belajar meluaskan hati. "Apa pula itu?" Kata suara hati saya bercanda. Sampai di kota yang semrawut dengan angkotnya ini, saya menemukan banyak lagi hal-hal yang membuat saya tertawa, betapa sifat manusiawi itu lucu dan sekaligus ironis. Biar si preacher mengarang-ngarang humor-humor satir untuk saya nikmati sendiri sambil terus berjalan kaki.
Tanpa diminta. Si marah menciut nyalinya. Ngambek di dasar jelaga, tempat ia seharusnya berada, biar bila sekali tersulut, dia hitam kelam dan menggoda saya tanpa ampun. Tapi itu nanti saja, ada saatnya. Biarin aja lah.
Saya tak tau apa itu ikhlas. Mudah-mudahan dia mampir pada hari-hari lain dan memberi tau saya, bahwa saya dulu pernah marah karena ini-itu. Bahwa saya bisa belajar dari waktu, dari kasih sayang pada diri saya sendiri dan memaafkan diri saya dari kerusakan yang terlanjur terjadi…..... Ternyata hidup ini cuma untuk saya. Saya ketemu teman-teman, berbagi cerita di sore gerah di teras rumahnya, muter-muter kota ini sambil melawan kantuk karena cuaca gerah tapi betul-betul menekan titik kantuk saya. Jangan tidur, saya mau menikmati hari ini yang sedetik-semenit berlalu terus. Saya biar si marah ngambek, saya biar si sedih tidur, saya berbohong, pura-pura hepi untuk meredam kata-kata si marah keluar dari ruang bercelah tadi. Saya mempersilahkan senyum menghangatkan hati, mengendurkan otot keras tadi. Reda sudah. Semesta memang bekerja seperti yang kita minta dalam doa, doa yang lugas, doa yang bukan didasari takut, doa yang merelakan apapun resiko di masa depan, kita berani menghadapnya di atas kaki kita sendiri.
Dan saya tidur nyenyak di malam hari

No comments:

Post a Comment