20.9.16

Udara dari Napasmu



“Boleh kah?” Rae berbisik. Wajahnya telah dekat dengan wajah Ru, menitikkan air mata. Tangan Rae menyentuh lembut rahang pipi Ru, yang juga sedang menahan lengan Rae, bukan untuk menolaknya. Napas mereka bertemu sesekali. Hembusan-hembusan hangat, suara-suara berisik jalanan di bawah kaki mereka menjadi kabur dan membayang-bayang. Udara menjadi gamang, seakan berhenti menghembus di sela kaki-kaki mereka yang dingin. Udara hangat dari napas Rae membuat Ru sejenak mengada di mimpi-mimpi merindu dalam rentang yang lalu. Ru hanya ingin Rae lupa akan semua rencananya. Atau membuat Rae mampu memijak bumi yang penuh akar duri menusuk kulit dan logikanya. Namun jeda yang berjarak akan membuat Rae kalut. Mungkin tak ada waktu lagi. Mungkin Rae tak mempercayainya lagi jika ia tak memberinya jawaban sekarang juga.  Genggam Ru pada lengan Rae semakin erat. Ru ingin ikut, tetapi ia takut. Dan seketika bayangan-bayangan sekitar menjadi lugas lagi, lampu-lampu kota menyilaukan lagi. Seseorang telah berteriak di bawah sana. Membuat keramaian dan menunjuk-nunjuk ke arah mereka. “Ru…..” Rae sudah memutuskan.


Di bawah, ada yang berusaha mencegah tubuh Ru hancur. Tapi terlambat. Remuknya bagai puisi dari kejauhan di atas sana. Puisi tentang rasa yang tuntas.

***

2 comments: