Suatu sore, sehabis hujan. Kupu-kupu terbang rendah menghampiri bunga krisan. Terbangnya bingung tak sampai tujuan. Sebelah sayapnya menjejak lain haluan: Harapan. Sementara sayap lainnya bertahan dan melawan. Bukan pada sayap di sebelah kanan, tapi pada janji rahasia yang menggantung di awan.
Sore tersenyum pada kupu-kupu, ia merubah langit menjadi lembayung ungu, hanya teruntuk sang kupu-kupu menjadi indah diantara krisan dan sisa awan kelabu. Yang terbangnya oleng kian kemari, kikuk kaku. Dan Sore menyadari itu. Ia tiupkan angin sejuk pada terbangnya. Berharap kupu-kupu terbantu menyeimbangkannya. Namun gagal. Entah salah dimana, kupu-kupu malah tersangkut di dedaunan, menatap jauh ke atas sana pada sang bunga krisan. Berharap pada keajaiban. Sayap lainnya yang bebas tak mampu meminta, hanya mengepak enggan. Tak ada perintah baginya untuk terus, meski ingin terus melawan.
Bunga krisan mencari-cari, siapa gerangan yang memberati daunnya? Namun tatapnya terhenti tanpa mampu meneruskan, terlihat bunga krisan terindah di seberang. Sang Terindah tersenyum bersemu dalam langit lembayung ungu. Membalas tatapan dari sana, penuh kasih dan aura daya. Tak ada secuilpun kasih maya, karena mereka nyata adanya. Mereka saling mendekat dengan segala upaya. Tak ada yang mampu menghalangi cinta mereka. Semua menyambut suka cita, beringsut memberi jalan untuk cintanya. Tanpa kupu-kupu mengerti mengapa dedaunan semakin menghimpit sayap harapannya. Ia tak mampu keluar dari jerat. Daun-daun menahannya erat. Ia berpikir, mungkin ini cara Semesta menyatukannya dengan krisan idaman. Maka ia kembali menatap krisan, penuh asa. Meski sayap harapannya terjepit daun-daun kehampaan. Sesaat kupu-kupu merasa lelah, sesaat lain semangatnya tak teredam. Ia tak peduli sayap harapannya koyak oleh usahanya melepaskan diri dari jerat. Ditariknya sayap itu, sekuat tenaga. Apapun tak mungkin menghentikannya. Semakin koyak sayap itu, semakin lemah sang kupu-kupu habis daya. Begitu juga harapannya.
***
Sang krisan bertemu pujaannya, mereka tak terpisahkan dalam ujung senja, berjanji akan saling berjaga jika gelap malam menjelang, tak mampu angin dingin mengoyak rasa saling percaya, utuh dalam segenggam mimpi yang tak lekang waktu. Lalu Sore menguji mereka, dimintanya badai datang menghempas, gelegar petir menyilaukan mata, menggetarkan jiwa. Terus-menerus tanpa ampunan. Sampai dua krisan tak mampu bertahan, tautan kelopak-kelopak mereka mengendur, hanya tatap merindu yang tulus yang masih menyatukan mereka, hanya mimpi dalam genggaman yang membuat mereka percaya: selalu ada 'kita'.
Dan kupu-kupu melihat tatap itu, tanpa ia mengerti ada kehangatan menjalari sukmanya. Angin pun menghempasnya, membantunya terlepas dari jerat daun-daun hampa. Melesatkan harapnya bertemu krisan. Meski badai melemahkan terbangnya, ia tak peduli, kupu-kupu tetap berjuang terbang, hingga sampai ia pada kelopak krisan yang menggapai-gapai. Diajaknya krisan pergi, ditariknya kelopak itu sekuat tenaga. Krisan tak mengerti apa yang terjadi, namun sesaat lain ia paham, senyumnya menandakan tak ada lagi yang mungkin membuatnya bahagia selain ini. Dalam badai, kupu-kupu mengantarnya bertemu sang pujaan hati. Hingga akhirnya kelopak-kelopak mereka bertaut kembali. Kupu-kupu mengerti, kehangatan tadi adalah ketulusan yang menulari, tanpa pamrih, tanpa meminta arti. Hanya ada karena ada. Namun kupu-kupu lupa, betapa lemahnya ia, dan ia pun tak sadarkan diri, jatuh ke tanah bersama daun layu dan bunga lain yang tak mampu bertahan.
Badai pun berhenti dan senja berakhir sepi. Sang Sore berbisik pada matahari di ujung tepi, sebuah permintaan pada esok hari.
***
Tibalah waktu pagi. Kehangatan mentari menjawab doa pada kehidupan, pada embun, pada dua krisan yang bertaut, menghapus jiwa-jiwa yang sempit oleh kelam semalam. Tetes embun menyembuhkan luka pada sayap harapan si kupu-kupu, dan sayap di kirinya, sayap kenyataan, mengingatkannya untuk terus mengepak, meneruskan perjalanan. Kupu-kupu terbangun oleh hangatnya matahari sepenggalah, menangkap senyumnya, menangkap artinya: esok hari telah tiba untuknya. Perjalanan masih panjang, kesempatan menanti di tepian samudera waktu, hanya untuk mereka yang mencintai hidup dan kehidupan abadi. Dan bangkitlah si kupu-kupu, tersenyum pada embun, pada matahari, pada pagi, lalu pada dua krisan yang telah mengajarinya ketulusan. Kupu-kupu bersiap terbang lagi. Tak ada yang lebih baik dari sekarang. Bekas luka sayapnya yang telah lalu membuat ia kuat, mengingatkannya untuk mengepak seiring sayap di sebelahnya, seimbang dan saling memberi energi. Biar sisa daya membawanya berkelana, biar alam semesta mengarahkan takdirnya. Ia hanya punya sebuah cerita untuk disampaikan pada dunia: tentang cintanya yang tulus pada krisan hingga membuat hatinya penuh karenanya. Dan itu sudah cukup, untuknya menjadi hidup.
8.10.10
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Akhirnya baca juga saya tulisan ini :D
ReplyDeleteTerima kasih, tremor. Kadang kebetulan memang membingungkan, tapi juga seru :)
ReplyDeleteiya, kadang idup itu kayak cerita fiksi yg cuman bisa ditemuin di novel dan film hehe aneh
ReplyDeleteYour reason and your passion are the rudder and the sails of your seafaring soul. If either your sails or your rudder be broken, you can but toss and drift, or else be held at a standstill in mid-seas.
ReplyDeleteFor reason, ruling alone, is a force confining; and passion, unattended, is a flame that burns to its own destruction.
Therefore let your soul exalt your reason to the height of passion, that it may sing;
And let it direct your passion with reason, that your passion may live through its own daily resurrection, and like the phoenix rise above its own ashes.
(Excerpt from "On Reason and Passion"
The Prophet - Kahlil Gibran)
I love you, Fer. You always know how to treat me right (in your OWN way of treating, of course) *hugs and popsicle*
ReplyDeleteps: Then I will let my passion lead me untill the dawn is breaking, and let my soul soaked into the sunrise...and by the time I'll know, everything is happened for a reason